Senin, 31 Maret 2014

makalah bioteknologi - eritropoietin



Makalah Bioteknologi

“Design, modeling, expression, and chemoselective PEGylation of a new nanosize cysteine analog of erythropoietin”









Antonia Adeleide Anutopi

118114081

FKK A 2011

Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2014
                                                                                                            I.                Teori
A.   Erythropoietin
Eritropoetin (EPO) merupakan produk penting yang disintesis di dalam ginjal. Kekurangan di dalam produksi EPO pada tubuh menyebabkan penurunan sel darah merah atau mengalami anemia akibat dari penyakit ginjal kronik, kemoterapi, dan pengobatan azidothymidine pada HIV. EPO juga tidak memiliki aktivitas in vivo secara efisien. (Cohan et al., 2011).
Hal yang penting dari EPO itu sendiri yaitu dapat melihat perkembangan anemia karena jumlah sirkulasi sel darah merah dihambat atau dirusak. Oleh karena itu, fungsi dari EPO adalah sebagai obat anti-anemia yang dibantu dengan pemeriksaan medis. Namun, jumlah EPO di dalam cairan tubuh sangatlah rendah. Sumber alami EPO terdapat di dalam urin. Preparasi penyelidikan dimungkinkan untuk mengidentifikasi sekuen asam amino dan DNA EPO manusia yang akan diisolasi dan dikloning dari mRNA ginjal dan hati yang adalah tempat EPO dihasilkan (Bustami, et al., 2009).
Eritropoetin juga memiliki peran penting dalam perkembangan menuju eritrosit. Reseptor yang spesifik untuk EPO memiliki berat molekul kurang lebih antara 85-105 kDa dan memiliki ciri khas pada sel. Reseptor EPO dikloning dari beberapa sumber, termasuk erythroleukemia murine (MEL) cell line, the human erythroleukemia cell line, OCIM 1, dan hati janin (Park, Lim, Kim, 2014).
EPO turut dalam proliferasi dan dalam mempertahankan kelangsungan hidup sel eritroid yang diproduksi di sel interstitial renal peritubuler dan hepatosit. EPO tidak memiliki simpanan hormon. Hal tersebut disebabkan karena produksi EPO pada dua organ yang berbeda, dan selalu dipresentasikan di dalam cairan plasma (Spivak, 1994).
Di dalam ginjal, produksi EPO selalu maksimal pada cognate interstitial cell, salah satu unsur penambahan sel guna menyintesis hormon. Di dalam hati, hipoksia menstimulasi peningkatan sintesis EPO pada hepatosit masing-masing individu (Spivak, 1994).
Satu dari efek EPO yang diperhatikan pada sel target yaitu menstimulasi sintesis RNA, yang didahului sintesis DNA, aktivasi mitosis, dan sintesis protein di dalam sel eritroid terdahulu. Pada kultur RNA sumsum tulang tikus, RNA lebih suka diproduksi dalam merespon EPO. Sintesis EPO diinduksi pada sub unit 45s prekursor RNA ribosomal, 28s, dan 18s RNA ribosomal, serta RNA transfer pada kultur hati janin. RNA polymerase II bertanggung jawab untuk sintesis mRNA, yang distimulasi dalam splenic erythroblasts yang mengakibatkan terjadinya aktivasi pada RNA polymerase I (Park, Lim, Kim, 2014).

B.   Recombinant Human EPO (rhEPO)
Munculnya produksi rhEPO umumnya oleh industri-industri biofarmasetika yang menangani gangguan anemia. rhEPO berisi 165 asam amino dengan berat molekul <35 kDa (Cohan et al., 2011).
rhEPO memiliki tiga jenis farmasetika yang digunakan untuk klinik, yaitu epoetin alfa, epoetin beta, dan epoetin omega menurut metode manufaktur. Epoetin alfa dan epoetin beta diproduksi di dalam sel CHO (Chinese Hamster Ovary). Sedangkan untuk epoetin omega diproduksi di dalam sel BHK (Baby Hamster Kidney). Kedua sel ini akan digunakan untuk tujuan terapetik (Skibeli, Nissen-Lie, Torjesen, 2001). Pada jaman sekarang, mayoritas komposisi biofarmasetika rekombinan yang sukses, digunakan untuk pengobatan pada manusia yang diproduksi dalam sel CHO (Santoso, 2013).
rhEPO yang diekspresikan pada CHO memiliki jangka waktu untuk bertahan hidup antara 4-13 jam. Selang waktu tersebut dapat digunakan untuk efek terapetik yang dapat diberikan kepada pasien melalui rute pemberian intravena (Cohan, et al., 2011). Sedangkan menurut artikel Pharmacokinetics of PEGylated Recombinant Human Erythropoietin in Rats (Cao, Chen, Yu, Ge, Zeng, 2014), produk epoetin pada manusia memiliki jangka waktu untuk hidup antara 6-8 jam.
Menurut hasil dari analisis, rhEPO memiliki struktur tetra-sialylated oligosaccharide yang relative tinggi (epoetin alfa 19%, epoetin beta 46%, epoetin omega 21%). rhEPO subjek yang disekresi di dalam urin, lebih bersifat asam daripada rhEPO yang dianalisis dari serum karena adanya perbedaan sifat muatan (Skibeli, Nissen-Lie, Torjesen, 2001).
Rute pemberian rhEPO dapat melalui subkutan, intravena maupun intraperitonial. Pemberian EPO melalui intraperitonial (i.p.) meningkatkan konsentrasi plasma dibandingkan jika diberikan secara subkutan (s.c.). Namun kebanyakan kasus, rhEPO dapat menyebabkan nyeri dan iritasi lokal ketika diinjeksikan. Sedangkan pada pemberian secara intravena (i.v) memiliki efek samping demam setelah pemberian. Oleh karena itu, lebih dianjurkan pemberian secara intravena (Cao, Chen, Yu, Ge, Zeng, 2014).
Recombinant Human EPO (rhEPO) sudah berlaku layaknya obat sejak tahun 1988 dan digunakan dalam pengobatan klinik pada pasien anemia, khususnya pasien dengan anemia yang disebabkan oleh gagal ginjal. Dalam kegiatan olahraga, terkadang terjadi penyalahgunaan rhEPO oleh sejumlah atlet (Skibeli, Nissen-Lie, Torjesen, 2001).

C.   PEGylation
Terdapat dua perbedaan pada struktur PEG, yaitu linear dan bercabang yang digunakan untuk berikatan dengan protein. Struktur yang bercabang dengan sisi yang akan berikatan dengan protein akan lebih banyak membantu daripada struktur linear karena dipengaruhi oleh faktor bobot molekul PEG yang besar, yang kemungkinan didapat tanpa meningkatkan sisi untuk berikatan (Lu, et al., 2008).
PEGylation dapat meningkatkan ukuran, solubilitas obat, dan bioavailabilitas meskipun menurunkan frekuensi dosis. Masalah dasar dengan yang memiliki protein PEGylation yaitu ikatan konjugasi tidak efisien, bentuk campuran heterogen, dan menurunkan aktivitas biologis. Kekurangan ini dapat diatasi oleh chemoselective cystein PEGylation yang dapat merubah sifat farmakokinetika dari protein. Reaksi PEGylation terjadi pada suhu kamar dan dengan penambahan sedikit gas nitrogen (Cohan et al., 2011).

D.   Ekspresi Vektor yang Berisi Analog Sistein
Pembuatan cDNA pada EPO menggunakan metode Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) sebuah metode berkebalikan (Cohan, et al., 2011). Reverse Transcription yang dikombinasi dengan Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), merupakan salah satu metode untuk kuantifikasi ekspresi gen target. Hal tersebut meningkatkan sejumlah mRNA beta globin secara signifikan dalam seluruh sampel darah yang akan terdeteksi jika terjadi penyalahgunaan pada sebagian atlet (Sepehrizadeh, Tabatabaei, Zarrini, Hashemi, Khoshakhlagh, 2008).
Sekuen his-tag dan kozak ditambahkan pada C-terminal dan N-terminal cDNA EPO, dengan primer 5’ – ATT ATG GGG GTC CAC GAA TGT CCT G – 3’, dan primer berkebalikannya 5’ – TCA ATG ATG ATG ATG ATG ATG GTC CCC TGT CCT GCA G – 3’ secara berurutan. Asam glutamat diganti pada posisi 31 dengan sistein yang dilakukan oleh metode site directed mutagenesis menggunakan primer 5’ – GCT TGT CAC TGC AGC TTG AAT GAG AAT ATC AC – 3’, dan primer berkebalikannya 5’ – CAT TCA AGC TGC AGT GAC AAG CAC AGC CCG TCG TG – 3’ (Cohan, et al., 2011).
Struktur Tag, dimana posisi, sekuen, dan panjangnya dapat mempengaruhi produksi protein dalam beberapa tingkatan yaitu kecepatan ekspresi, kemampuan untuk berikatan dengan ligan, struktur 3D protein. Adapun solubilitas dan aktivitas dari protein merupakan faktor minor yang juga dipengaruhi oleh struktur Tag (Block, 2009).
Semua PCR dilakukan dengan Pfu DNA polymerase untuk menghindari mutasi yang tak terduga. Mutasi gen dikloning dalam vektor optiCHO (Cohan, et al., 2011). Pfu digunakan sebagai aktivitas untuk pengoreksian DNA polymerase dengan suhu yang stabil (Bustami, et al., 2009).

















                                                                      II.                Metode yang dibahas didalam Jurnal
Pada jurnal (Cohan et al., 2011) digunakan sel CHO karena menurut teori yang terdapat di dalam jurnal (Skibeli, Nissen-Lie, Torjesen, 2001) CHO memproduksi epoetin beta yang dapat digunakan untuk recombinant human erythropoietin. Selain itu juga, menurut Santoso, 2013, pada sel CHO, mayoritas kesuksesan rekombinan lebih besar.
Sel CHO dikultur di dalam medium Iscove’s yang dimodifikasi dengan Dulbecco’s. Kemudian ditambah suplemen fetal bovine serum (FBS) 10% v/v, penisilin, streptomisin, hipoxantin, timidin dan methotrexathe dalam 24 mikroplate. Kemudian sel didialisis dalam medium α-MEM yang berisi 10% FBS.
Penggunaan penisilin dapat menghasilkan formasi dinding sel yang salah sehingga mengakibatkan sel bakteri mati. Hal ini dikarenakan penisilin mempunyai struktur mirip dengan bagian terminal strand peptidoglikan, sehingga dapat berkompetisi untuk berikatan dengan enzim pengkatalisis proses transpeptidase. Sedangkan penggunaan streptomisin dapat menyebabkan proses kodon-antikodon tidak normal sehingga proses pembacaan (intepretasi) yang salah pada transkripsi mRNA (Nugroho, 2012).
Dalam kajian transformasi genetika, sel transgenik yang mengekspresikan gen streptomycin fosfotransferase akan membentuk tunas dan kalus yang berwarna hijau pada media seleksi. Sebaliknya sel-sel yang bukan transgenik pada media yang mengandung antibiotik streptomisin, akan menghasilkan jaringan yang berwarna kuning. Seleksi warna ini terbukti sangat berguna dalam memantau perpindahan gen dalam tanaman (Tajuddin, 2014).
Hipoxantin adalah turunan purin dengan berat molekulnya adalah 152,12. Memiliki sifat sebagai donor elektron karena memiliki pasangan elektron bebas pada atom nitrogen (Suhartana, 2007).




Gambar 1. Struktur Hipoxantin (Suhartana, 2007).
 


Tujuan dari dialysis itu sendiri yaitu untuk memisahkan protein (molekul besar) dari garam (molekul kecil) atau dari kontaminan yang berukuran kecil. Protein akan dimasukkan ke dalam kantong selofan yang berpori kecil. Kemudian akan dimasukkan ke dalam wadah yang mengandung akuades atau buffer, sambil diputar dengan pemutar magnetic semalaman dengan penggantian akuades atau buffer beberapa kali dalam wadah. Pada jurnal utama digunakan buffer PBS (Phosphate Buffered Saline) dengan suhu 40C sepanjang malam.
Pori yang terdapat dalam kantong selofan memungkinkan molekul kecil berdifusi keluar, molekul besar tertahan di dalam kantong. Selain itu juga dapat memekatkan larutan.
Klon kemudian diseleksi menggunakan kit EPO ELISA dan primer yang digunakan adalah spesifik. Kodon sistein diganti dari mRNA menjadi cDNA menggunakan metode RT-PCR dan sekuensing.
Terdapat 3 pemilihan primer, yaitu oligo dT, dimana pada jurnal utama primer yang digunakan adalah oligo dT. Alasan penggunaan primer oligo dT karena salinan cDNA bisa didapatkan secara lengkap dari full mRNA. Pada jurnal utama juga dibahas bahwa primer yang digunakan juga random hexamer. Primer random hexamer ini dapat meningkatkan ukuran cDNA karena primernya akan terhibridisasi lebih jarang (Rustam, 2010).
RT PCR adalah teknik yang digunakan untuk membuat cDNA dengan RNA sebagai template-nya. Proses ini adalah kebalikan dari transkripsi DNA menjadi RNA yang umum terjadi pada makhluk hidup sehingga dinamakan transkripsi terbalik. Di laboratorium, RT PCR umumnya dilakukan untuk menganalisa tingkat ekspresi genetik. Karena ekspresi setiap gen berbeda, maka proses RT-PCR harus efisien dan tidak boleh melewatkan RNA dari gen yang tergolong ‘low copy’ dan sulit (Rustam, 2010).
Sekuensing nukleotida pada EPO-responsive cDNA ditunjukkan menggunakan kit yang berdasarkan suatu metode. Sekuensing dibandingkan juga dengan GenBank (Park, Lim, Kim, 2014). Tersedianya sekuen gen dari GenBank memudahkan penyintesisan partikel gen (Bustami et al., 2009).
Sekresi analog sistein dianalisis menggunakan SDS-PAGE (Sodium Deodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel Electrophoresis) dalam 200 Volt selama 50 menit (Cohan, et al., 2011). SDS-PAGE akan menunjukkan kespesifikan antibodi yang digunakan dengan menunjukkan ukuran molekul antigen (Emantoko, 2001). SDS akan membuat protein bermuatan negatif, sehingga pemisahan terjadi berdasarkan kecepatan bergerak dalam medan listrik yang dipengaruhi oleh besar molekul. Protein yang terpisah akan divisualisasi menggunakan zat warna.
Sekresi analog sistein yang akan dianalisis juga dapat dilihat menggunakan metode Coomassie brilliant blue. Coomassie brilliant blue merupakan metode pewarnaan gel.
Setelah dianalisis menggunkan SDS-PAGE, maka langkah selanjutnya adalah proses blotting. Membran nitroselulosa akan diblok dengan protein yang tidak spesifik. Dalam jurnal digunakan 5% Bovine Serum Albumin dan 0,1% tween 20. Tujuannya adalah untuk menutupi bagian-bagian nitroselulosa yang tidak terdapat protein. Permukaan membran nitroselulosa diharuskan tertutup protein karena membran tersebut akan diwarnai dan juga agar tidak terjadi ikatan yang spesifik dengan antibodi primer.
Identifikasi pada analog E31C yang diekspresikan melalui rhEPO, ditunjukkan melalui pengguna antibodi monoklonal tikus dan igG goat antimouse selaku antibodi primer dan antibodi sekunder selama 1 jam dan pada suhu ruangan. Pita yang dibangun menggunakan substrat kromogenik.
Mutasi gen dikloning didalam vektor optiCHO, kemudian dilihat akurasinya lalu dianalisis oleh menggunakan metode ELISA (Cohan, et al., 2011). ELISA akan menunjukkan batas minimum antigen yang masih dapat terdeteksi oleh antigen (Emantoko, 2001) .
Pengembalian kodon sistein di dalam mRNA dikonfirmasi oleh RT-PCR dan sekuensing. Identifikasi analog sistein yang diekspresikan dilaksanakan menggunakan antibodi pada membran nitroselulosa anti-EPO.
Klon dikultur dan konsentrasi supernatant diambil lalu dimurnikan menggunakan Size Exclusion dan immobilized affinity chromatography. Uji biologis tidak menunjukkan perbedaan aktivitas EC50 pada rhEPO dan analog E31C.
Kromatografi eksklusi ukuran digunakan untuk memisahkan atau menganalisis senyawa dengan berat molekul >2000 dalton. Pemisahan dengan metode ini tidak terjadi interaksi kimia antara solut dan fase diam. Molekul solut yang mempunyai berat molekul yang jauh lebih besar, akan terelusi terlebih dahulu, kemudian akan dilanjutkan dengan molekul yang memiliki berat medium sampai kecil (Rohman, 2009).
Kromatografi eksklusi ukuran sering juga disebut filtrasi gel yang dapat digunakan untuk pemurnian DNA protein. Filtrasi gel merupakan metode yang mudah. Kolom pada filtrasi gel tidak hanya digunakan untuk menyingkirkan kontaminan dengan berat molekul yang rendah, seperti garam, tetapi juga untuk buffer exchange sebelum dan sesudah perlakuan kromatografi yang berbeda.
Pemilihan buffer pada filtrasi gel tidak akan mempengaruhi resolusi, tetapi konsentrasi garam (NaCl) yang rendah antara 25-150 mM dapat digunakan untuk mengurangi interaksi elektrostatik antara protein dengan media gel filtrasi. Pada jurnal digunakan 150 mM NaCl.
Pada kromatografi afinitas terjadi karena interaksi-interaksi biokimiawi yang sangat spesifik. Kromatografi ini dapat digunakan untuk mengisolasi protein (enzim) dari campuran yang sangat kompleks (Rohman, 2009). Dalam kromatografi ini, fase diam yang akan berikatan dengan protein target. Kemudian protein target akan dielusi menggunakan ligan kompetitif yang pada akhirnya akan didialisis.
Konsep dari immobilized affinity chromatography yaitu pada dasarnya transisi ion logam seperti Zn2+, Cu2+, Ni2+, dan Co2+ terjadi pada asam amino histidin dan sistein dalam solution (Block, et al., 2009). Kombinasi Immobilized Metal Affinity Chromatography (IMAC) dan spektrometri massa sering digunakan dalam teknik untuk memperkaya dan sekuensing pada fosfopeptida (Thingholm, 2009).
Pemurnian dengan teknik kromatografi afinitas disebut juga pemurnian satu tahap. Prinsipnya adalah adanya pengikatan yang spesifik antara ligan dengan reseptor. Jadi, dalam kromatografi afinitas, dimungkinkan harus terdapat dua senyawa yang berikatan secara spesifik. Dalam proses ini juga diperlukan interaksi spesifik antara protein rekombinan dengan suatu ligan. Kekurangan teknik ini adalah protein rekombinan yang akan dimurnikan harus berinteraksi secara spesifik dengan suatu ligan. Namun, kekurangan ini dapat diatasi dengan membuat suatu protein fusi yang terdiri dari protein yang akan dimurnikan dengan protein yang dapat berikatan spesifik dengan ligan tertentu (Muhaimin, Liang, Ratnaningsih, Purwantini, Retnoningrum, 2005).
Dalam transisi logam, yang sering digunakan adalah logam yang bermuatan positif, dimana sebagai akseptor elektron. Atom-atom yang bertindak sebagai donor elektron adalah atom N, S, O. Adapun asam amino yang bersifat sebagai donor elektron yaitu asam glutamate, asam aspartat, tirosin, sistein, histidin, arginin, lisin, dan metionin (Gaberc-Porekar, Menart, 2001).
Metode IMAC, gugus fosfat yang bermuatan negatif akan berinteraksi dengan ion-ion logam yang bermuatan positif, seperti Fe3+, Al3+. Interaksi ini memungkinkan terjadinya fosforilasi dari sampel peptide yang lebih kompleks (Thingholm, 2009).
Keuntungan dari IMAC yaitu teknik ini memiliki affinitas yang konstan dan pemanfaatan afinitas antara enzim dan kofaktor atau inhibitor, reseptor dan ligan atau antara antigen antibodi, adalah konstan. Selain itu, keuntungan dari IMAC juga yaitu terdapat pada stabilitas ligan, loading protein yang tinggi, kondisi elusi, regenerasi yang sederhana, dan biaya yang murah. Faktor-faktor inilah yang harus diperhatikan industri ketika menjalankan prosedur pemurnian dalam skala yang besar (Gaberc-Porekar, Menart, 2001).





















                                                                                         III.                Jurnal Pembanding
1.    Pada jurnal utama (Cohan, et al., 2011) cDNA alami pada EPO didapat dari metode RT-PCR dan dikloning dalam pTZ57R/T. Sedangkan pada jurnal Cloning and Functional of Erythropoietin-, Interleukin-3-, and Thrombopoietin-Inducible Genes (D’Andrea, Zhu, 1996) menyatakan bahwa beberapa cDNA spesifik dikloning dari Ba/F3-EPO-R yang secara awal memberikan respon gen secara seketika atau terlambat dalam memberikan tanggapan terhadap sitokin.

2.    Pada jurnal, Sugar Profiling Proves that Human Serum Erythropoietin Differs From Recombinant Human Erythropoietin (Skibeli, Nissen-Lie, Torjesen, 2001), rhEPO dilabel menggunakan radioisotop sodium iodide-125.

3.    Oligonukleotida didesign berdasarkan pada sekuen nukleotida pada mRNA EPO manusia yang didapat dari National Center for Biotechnology Information, USA. Oligonukleotida didesign menurut kodon Pichia pastoris. Oligonukleotida yang mengalami overlap akan digunakan untuk memproduksi dua gen EPO manusia. Yang pertama EPO manusia dengan 166 asam amino yang kurang hidrofobik. Gen yang kedua dengan 193 asam amino. 27 asam amino diantaranya bersifat hidrofobik yang memiliki ikatan peptida (Bustami et al., 2009).

4.    Pada jurnal PCR assembly of Synthetic Human Erythropoietin Gene (Bustami, et al., 2009), terdapat dua enzim, EcoRI dan AvrII, yang diperkenalkan sebagai sasaran untuk membangun gen EPO manusia dan menurut petunjuk, gen dikloning ke dalam vektor Pichia pastoris (pPIC9K).








                                                                                                 IV.                Kesimpulan
Hasil dari jurnal dapat disimpulkan bahwa ternyata menggunakan model molekul dan simulasi MD (Molecular Dynamic) dalam lokasi yang rasional pada sistein yang spesifik PEGylation merupakan strategi dalam perkembangan molekul. Ini memungkinkan menggunakan protein rekombinan lain yang diciptakan dalam bentuk aksi yang panjang. Pengetahuan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi PEGylation dalam kombinasi dengan teknik perhitungan dapat membantu memecahkan masalah mengenai berat molekul antara protein dengan polimer.

























Daftar Pustaka

Block, H., Maertens, B., Spriestersbach, A., Brinker, N., Kubicek, J., Fabis, R., et al., 2009, Immobilized-Metal Affinity Chromatography (IMAC): A Review, Elsevier, 463, 440-448.
Bustami, Y., Yahya, A., Muhammad, T., Shu-Chien, A., Abdullah, A., Noor, M., et al., 2009, PCR Assembly of Synthetic Human Erythropoietin Gene, Electronic Journal of Biotechnology, 12 (3), 2-4.
Cao, X., Chen, Z., Yu, Z., Ge, Y., Zeng, X., 2014, Pharmacokinetics of PEGylated Recombinant Human Erythropoietin in Rats, Journal of Analitical Methods in Chemistry, 1-4.
Cohan, R. A., Madadkar-Sobhani, A., Khanahmad, H., Roohvand, F., Aghasadeghi, M. R., Hedayati, M. H., et al., 2011, Design, Modelling, Expression, and Chemoselective PEGylation of a New Nanosize Cystein Analog of Erythropoietin, International Journal of Nanomedicine, 6, 1217-1221.
D’Andrea, A. D., Zhu, Y., 1996, Cloning and Functional of Erythropoietin-, Interleukin-3-, and Thrombopoietin-Inducible Genes, Stem Cells, 14 (1), 82-87.
Emantoko, S., 2001, Antibodi Rekombinan: Perkembangan Terbaru dalam Teknologi Antibodi, Unitas, 9 (2), 13.
Gaberc-Porekar, V., Menart, V., 2001, Perspectives of Immobilized-Metal Affinity Chromatography, J.Biochem.Biophys.Methods, 49, 336-337.
Lu, Y., Harding, S. E., Turner, A., Smith, B., Athwal, D. S., Grossmann, J. G., et al., 2008, Effect of PEGylation on the Solution Conformation of Antibody Fragments, Journal of Pharmaceutical Sciences, 97 (6), 2063.
Muhaimin, Liang, O., Ratnaningsih, E., Purwantini, E., Retnoningrum, D., 2005, Purifikasi Protein Fusi MBP-Mga Streptococcus pyogenes Hasil Ekspresi Heterolog di Escherichia coli, Jurnal Matematika dan Sains, 10 (1), 31.
Nugroho, A. E., 2012, Farmakologi: Obat-obat Penting dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 195-199.
Park, D., Lim, R., Kim, H., 2014, Rapid Induction of Mouse Virus-Like (VL30) Element Transcripts by Erythropoietin in Murine Erythroid Progenittor Cells, Blood, 82 (1), 77-78.
Rohman, A., 2009, Kromatografi untuk Analisis Obat, Graha Ilmu, Yogyakarta, 120.
Rustam, Y., 2010, 6 Faktor Penting dalam Reverse Transcriptase PCR, Biotechnique, http://sciencebiotech.net/6-faktor-penting-dalam-reverse-transcriptase-pcr/, diakses tanggal 30 Maret 2014.
Santoso, A., Rubiyana, Y., Wijaya, S. K., Herawati, N., Wardiana, A., Ningrum, R. A., 2013, Heterologous Expression and Characterization of Human Erythropoietin in Pichia pastoris, International Journal of Pharma and Bio Sciences, 4 (4), 188.
Sepehrizadeh, Z., Tabatabaei, M., Zarrini G. H., Hashemi, S., Khoshakhlagh, P., 2008, Comparison of Real Time RT-PCR and Flow Cytometry Methods For Evaluation of Biological Activity of Recombinant Human Erythropoietin, DARU, 16 (2), 102.
Skibeli, V., Nissen-Lie, G., Torjesen, P., 2001, Sugar Profiling Proves that Human Serum Erythropoietin Differs From Recombinant Human Erythropoietin, Blood, 98 (13), 3626-3632.
Spivak, J. L., 1994, Recombinant Human Erythropoietin and the Anemia of Cancer, Blood, 84 (4), 997.
Suhartana, 2007, Kemampuan Ligan Hipoxantin dan Quanin untuk Ekstraksi Kation Perak pada Fase Air-Kloroform, Jurnal Sains dan Matematika (JSM), 15 (1), 25-26.
Tajuddin, T., 2014, Gen Indikator Transformasi Sel Tanaman, Biotech Center, http://biotek.bppt.go.id/index.php/artikel-sains/135-gen-indikator-transformasi-sel-tanaman, diakses tanggal 30 Maret 2013.
Thingholm, J. E., Jensen, O. N., 2009, Enrichment and Characterization of Phosphopeptides by Immobilized Metal Affinity Chromatography (IMAC) and Mass Spectrometry, Methods Mol Biol, 527, 47-56.