Makalah Bioteknologi
“Design,
modeling, expression, and chemoselective PEGylation of a new nanosize cysteine
analog of erythropoietin”
Antonia Adeleide Anutopi
118114081
FKK A 2011
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
2014
I.
Teori
A. Erythropoietin
Eritropoetin (EPO) merupakan produk
penting yang disintesis di dalam ginjal. Kekurangan di dalam produksi EPO pada
tubuh menyebabkan penurunan sel darah merah atau mengalami anemia akibat dari
penyakit ginjal kronik, kemoterapi, dan pengobatan azidothymidine pada HIV. EPO juga tidak memiliki aktivitas in vivo
secara efisien. (Cohan et al., 2011).
Hal yang penting dari EPO itu sendiri
yaitu dapat melihat perkembangan anemia karena jumlah sirkulasi sel darah merah
dihambat atau dirusak. Oleh karena itu, fungsi dari EPO adalah sebagai obat
anti-anemia yang dibantu dengan pemeriksaan medis. Namun, jumlah EPO di dalam
cairan tubuh sangatlah rendah. Sumber alami EPO terdapat di dalam urin. Preparasi
penyelidikan dimungkinkan untuk mengidentifikasi sekuen asam amino dan DNA EPO
manusia yang akan diisolasi dan dikloning dari mRNA ginjal dan hati yang adalah
tempat EPO dihasilkan (Bustami, et al.,
2009).
Eritropoetin juga memiliki peran
penting dalam perkembangan menuju eritrosit. Reseptor yang spesifik untuk EPO
memiliki berat molekul kurang lebih antara 85-105 kDa dan memiliki ciri khas
pada sel. Reseptor EPO dikloning dari beberapa sumber, termasuk erythroleukemia murine (MEL) cell line, the human erythroleukemia cell line, OCIM 1, dan hati janin (Park,
Lim, Kim, 2014).
EPO turut dalam proliferasi dan dalam
mempertahankan kelangsungan hidup sel eritroid yang diproduksi di sel
interstitial renal peritubuler dan hepatosit. EPO tidak memiliki simpanan hormon.
Hal tersebut disebabkan karena produksi EPO pada dua organ yang berbeda, dan selalu
dipresentasikan di dalam cairan plasma (Spivak, 1994).
Di dalam ginjal, produksi EPO selalu
maksimal pada cognate interstitial cell,
salah satu unsur penambahan sel guna menyintesis hormon. Di dalam hati,
hipoksia menstimulasi peningkatan sintesis EPO pada hepatosit masing-masing
individu (Spivak, 1994).
Satu dari efek EPO yang diperhatikan
pada sel target yaitu menstimulasi sintesis RNA, yang didahului sintesis DNA,
aktivasi mitosis, dan sintesis protein di dalam sel eritroid terdahulu. Pada
kultur RNA sumsum tulang tikus, RNA lebih suka diproduksi dalam merespon EPO.
Sintesis EPO diinduksi pada sub unit 45s prekursor RNA ribosomal, 28s, dan 18s
RNA ribosomal, serta RNA transfer pada kultur hati janin. RNA polymerase II
bertanggung jawab untuk sintesis mRNA, yang distimulasi dalam splenic erythroblasts yang mengakibatkan
terjadinya aktivasi pada RNA polymerase I (Park, Lim, Kim, 2014).
B. Recombinant Human EPO (rhEPO)
Munculnya
produksi rhEPO umumnya oleh industri-industri biofarmasetika yang menangani
gangguan anemia. rhEPO berisi 165 asam amino dengan berat molekul <35 kDa
(Cohan et al., 2011).
rhEPO
memiliki tiga jenis farmasetika yang digunakan untuk klinik, yaitu epoetin
alfa, epoetin beta, dan epoetin omega menurut metode manufaktur. Epoetin alfa dan
epoetin beta diproduksi di dalam sel CHO (Chinese
Hamster Ovary). Sedangkan untuk epoetin omega diproduksi di dalam sel BHK (Baby Hamster Kidney). Kedua sel ini akan
digunakan untuk tujuan terapetik (Skibeli,
Nissen-Lie, Torjesen, 2001). Pada jaman sekarang, mayoritas
komposisi biofarmasetika rekombinan yang sukses, digunakan untuk pengobatan
pada manusia yang diproduksi dalam sel CHO (Santoso, 2013).
rhEPO
yang diekspresikan pada CHO memiliki jangka waktu untuk bertahan hidup antara
4-13 jam. Selang waktu tersebut dapat digunakan untuk efek terapetik yang dapat
diberikan kepada pasien melalui rute pemberian intravena (Cohan, et al., 2011). Sedangkan menurut artikel
Pharmacokinetics of PEGylated Recombinant
Human Erythropoietin in Rats (Cao, Chen, Yu, Ge, Zeng, 2014), produk
epoetin pada manusia memiliki jangka waktu untuk hidup antara 6-8 jam.
Menurut
hasil dari analisis, rhEPO memiliki struktur tetra-sialylated oligosaccharide yang relative tinggi (epoetin alfa
19%, epoetin beta 46%, epoetin omega 21%). rhEPO subjek yang disekresi di dalam
urin, lebih bersifat asam daripada rhEPO yang dianalisis dari serum karena
adanya perbedaan sifat muatan (Skibeli,
Nissen-Lie, Torjesen, 2001).
Rute
pemberian rhEPO dapat melalui subkutan, intravena maupun intraperitonial. Pemberian
EPO melalui intraperitonial (i.p.) meningkatkan konsentrasi plasma dibandingkan
jika diberikan secara subkutan (s.c.). Namun kebanyakan kasus, rhEPO dapat
menyebabkan nyeri dan iritasi lokal ketika diinjeksikan. Sedangkan pada
pemberian secara intravena (i.v) memiliki efek samping demam setelah pemberian.
Oleh karena itu, lebih dianjurkan pemberian secara intravena (Cao, Chen, Yu,
Ge, Zeng, 2014).
Recombinant Human EPO
(rhEPO) sudah berlaku layaknya obat sejak tahun 1988 dan digunakan dalam
pengobatan klinik pada pasien anemia, khususnya pasien dengan anemia yang
disebabkan oleh gagal ginjal. Dalam kegiatan olahraga, terkadang terjadi
penyalahgunaan rhEPO oleh sejumlah atlet (Skibeli,
Nissen-Lie, Torjesen, 2001).
C. PEGylation
Terdapat dua perbedaan pada struktur
PEG, yaitu linear dan bercabang yang digunakan untuk berikatan dengan protein.
Struktur yang bercabang dengan sisi yang akan berikatan dengan protein akan
lebih banyak membantu daripada struktur linear karena dipengaruhi oleh faktor bobot
molekul PEG yang besar, yang kemungkinan didapat tanpa meningkatkan sisi untuk
berikatan (Lu, et al., 2008).
PEGylation dapat meningkatkan ukuran,
solubilitas obat, dan bioavailabilitas meskipun menurunkan frekuensi dosis.
Masalah dasar dengan yang memiliki protein PEGylation
yaitu ikatan konjugasi tidak efisien, bentuk campuran heterogen, dan menurunkan
aktivitas biologis. Kekurangan ini dapat diatasi oleh chemoselective cystein PEGylation yang dapat merubah sifat farmakokinetika
dari protein. Reaksi PEGylation
terjadi pada suhu kamar dan dengan penambahan sedikit gas nitrogen (Cohan et al., 2011).
D. Ekspresi
Vektor yang Berisi Analog Sistein
Pembuatan cDNA pada EPO menggunakan
metode Reverse Transcription Polymerase
Chain Reaction (RT-PCR) sebuah metode berkebalikan (Cohan, et al., 2011). Reverse Transcription yang dikombinasi dengan Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), merupakan salah satu metode
untuk kuantifikasi ekspresi gen target. Hal tersebut meningkatkan sejumlah mRNA
beta globin secara signifikan dalam seluruh sampel darah yang akan terdeteksi
jika terjadi penyalahgunaan pada sebagian atlet (Sepehrizadeh, Tabatabaei,
Zarrini, Hashemi, Khoshakhlagh, 2008).
Sekuen his-tag dan kozak ditambahkan pada C-terminal dan N-terminal cDNA EPO, dengan primer 5’ – ATT ATG GGG GTC CAC GAA TGT
CCT G – 3’, dan primer berkebalikannya 5’ – TCA ATG ATG ATG ATG ATG ATG GTC CCC
TGT CCT GCA G – 3’ secara berurutan. Asam glutamat diganti pada posisi 31
dengan sistein yang dilakukan oleh metode site
directed mutagenesis menggunakan primer 5’ – GCT TGT CAC TGC AGC TTG AAT
GAG AAT ATC AC – 3’, dan primer berkebalikannya 5’ – CAT TCA AGC TGC AGT GAC
AAG CAC AGC CCG TCG TG – 3’ (Cohan, et al.,
2011).
Struktur Tag, dimana posisi, sekuen, dan panjangnya dapat mempengaruhi
produksi protein dalam beberapa tingkatan yaitu kecepatan ekspresi, kemampuan
untuk berikatan dengan ligan, struktur 3D protein. Adapun solubilitas dan
aktivitas dari protein merupakan faktor minor yang juga dipengaruhi oleh
struktur Tag (Block, 2009).
Semua PCR dilakukan dengan Pfu DNA polymerase untuk menghindari
mutasi yang tak terduga. Mutasi gen dikloning dalam vektor optiCHO (Cohan, et al., 2011). Pfu digunakan sebagai aktivitas untuk pengoreksian DNA polymerase
dengan suhu yang stabil (Bustami, et al.,
2009).
II.
Metode yang dibahas didalam Jurnal
Pada jurnal (Cohan et
al., 2011) digunakan sel CHO karena menurut teori yang terdapat di dalam
jurnal (Skibeli,
Nissen-Lie, Torjesen, 2001) CHO memproduksi epoetin beta yang
dapat digunakan untuk recombinant human
erythropoietin. Selain itu juga, menurut Santoso, 2013, pada sel CHO,
mayoritas kesuksesan rekombinan lebih besar.
Sel CHO dikultur di dalam medium Iscove’s yang dimodifikasi dengan Dulbecco’s. Kemudian ditambah suplemen fetal bovine serum (FBS) 10% v/v, penisilin, streptomisin,
hipoxantin, timidin dan methotrexathe dalam 24 mikroplate. Kemudian sel
didialisis dalam medium α-MEM yang berisi 10% FBS.
Penggunaan penisilin dapat menghasilkan formasi dinding
sel yang salah sehingga mengakibatkan sel bakteri mati. Hal ini dikarenakan
penisilin mempunyai struktur mirip dengan bagian terminal strand peptidoglikan,
sehingga dapat berkompetisi untuk berikatan dengan enzim pengkatalisis proses
transpeptidase. Sedangkan penggunaan streptomisin dapat menyebabkan proses
kodon-antikodon tidak normal sehingga proses pembacaan (intepretasi) yang salah
pada transkripsi mRNA (Nugroho, 2012).
Dalam kajian transformasi genetika, sel transgenik yang
mengekspresikan gen streptomycin
fosfotransferase akan membentuk tunas dan kalus yang berwarna hijau pada
media seleksi. Sebaliknya sel-sel yang bukan transgenik pada media yang
mengandung antibiotik streptomisin, akan menghasilkan jaringan yang berwarna
kuning. Seleksi warna ini terbukti sangat berguna dalam memantau perpindahan
gen dalam tanaman (Tajuddin, 2014).
Hipoxantin adalah turunan purin dengan berat molekulnya
adalah 152,12. Memiliki sifat sebagai donor elektron karena memiliki pasangan
elektron bebas pada atom nitrogen (Suhartana, 2007).
Gambar 1. Struktur Hipoxantin (Suhartana, 2007).
|
Tujuan dari dialysis itu sendiri yaitu untuk memisahkan
protein (molekul besar) dari garam (molekul kecil) atau dari kontaminan yang
berukuran kecil. Protein akan dimasukkan ke dalam kantong selofan yang berpori
kecil. Kemudian akan dimasukkan ke dalam wadah yang mengandung akuades atau
buffer, sambil diputar dengan pemutar magnetic semalaman dengan penggantian
akuades atau buffer beberapa kali dalam wadah. Pada jurnal utama digunakan
buffer PBS (Phosphate Buffered Saline)
dengan suhu 40C sepanjang malam.
Pori yang terdapat dalam kantong selofan memungkinkan
molekul kecil berdifusi keluar, molekul besar tertahan di dalam kantong. Selain
itu juga dapat memekatkan larutan.
Klon kemudian diseleksi menggunakan kit EPO ELISA dan
primer yang digunakan adalah spesifik. Kodon sistein diganti dari mRNA menjadi
cDNA menggunakan metode RT-PCR dan sekuensing.
Terdapat 3 pemilihan primer, yaitu oligo dT, dimana pada jurnal
utama primer yang digunakan adalah oligo dT. Alasan penggunaan primer oligo dT
karena salinan cDNA bisa didapatkan secara lengkap dari full mRNA. Pada jurnal
utama juga dibahas bahwa primer yang digunakan juga random hexamer. Primer
random hexamer ini dapat meningkatkan ukuran cDNA karena primernya akan
terhibridisasi lebih jarang (Rustam, 2010).
RT PCR adalah teknik yang digunakan untuk membuat cDNA
dengan RNA sebagai template-nya. Proses ini adalah kebalikan dari transkripsi
DNA menjadi RNA yang umum terjadi pada makhluk hidup sehingga dinamakan
transkripsi terbalik. Di laboratorium, RT PCR umumnya dilakukan untuk
menganalisa tingkat ekspresi genetik. Karena ekspresi setiap gen berbeda, maka
proses RT-PCR harus efisien dan tidak boleh melewatkan RNA dari gen yang
tergolong ‘low copy’ dan sulit (Rustam, 2010).
Sekuensing nukleotida pada EPO-responsive cDNA ditunjukkan menggunakan kit yang berdasarkan
suatu metode. Sekuensing dibandingkan juga dengan GenBank (Park, Lim, Kim, 2014). Tersedianya sekuen gen dari GenBank memudahkan penyintesisan
partikel gen (Bustami et al., 2009).
Sekresi analog sistein dianalisis menggunakan SDS-PAGE (Sodium Deodecyl Sulfate Polyacrylamide Gel
Electrophoresis) dalam 200 Volt selama 50 menit (Cohan, et al., 2011). SDS-PAGE akan menunjukkan
kespesifikan antibodi yang digunakan dengan menunjukkan ukuran molekul antigen
(Emantoko, 2001). SDS akan membuat protein bermuatan negatif, sehingga
pemisahan terjadi berdasarkan kecepatan bergerak dalam medan listrik yang
dipengaruhi oleh besar molekul. Protein yang terpisah akan divisualisasi
menggunakan zat warna.
Sekresi analog sistein yang akan dianalisis juga dapat
dilihat menggunakan metode Coomassie
brilliant blue. Coomassie brilliant
blue merupakan metode pewarnaan gel.
Setelah dianalisis menggunkan SDS-PAGE, maka langkah
selanjutnya adalah proses blotting. Membran nitroselulosa akan diblok dengan protein
yang tidak spesifik. Dalam jurnal digunakan 5% Bovine Serum Albumin dan 0,1% tween 20. Tujuannya adalah untuk
menutupi bagian-bagian nitroselulosa yang tidak terdapat protein. Permukaan
membran nitroselulosa diharuskan tertutup protein karena membran tersebut akan
diwarnai dan juga agar tidak terjadi ikatan yang spesifik dengan antibodi
primer.
Identifikasi pada analog E31C yang diekspresikan melalui
rhEPO, ditunjukkan melalui pengguna antibodi monoklonal tikus dan igG goat antimouse selaku antibodi primer
dan antibodi sekunder selama 1 jam dan pada suhu ruangan. Pita yang dibangun
menggunakan substrat kromogenik.
Mutasi gen dikloning didalam vektor optiCHO, kemudian
dilihat akurasinya lalu dianalisis oleh menggunakan metode ELISA (Cohan, et al., 2011). ELISA akan menunjukkan
batas minimum antigen yang masih dapat terdeteksi oleh antigen (Emantoko, 2001)
.
Pengembalian kodon sistein di dalam mRNA dikonfirmasi
oleh RT-PCR dan sekuensing. Identifikasi analog sistein yang diekspresikan dilaksanakan
menggunakan antibodi pada membran nitroselulosa anti-EPO.
Klon dikultur dan konsentrasi supernatant diambil lalu
dimurnikan menggunakan Size Exclusion
dan immobilized affinity chromatography.
Uji biologis tidak menunjukkan perbedaan aktivitas EC50 pada rhEPO dan
analog E31C.
Kromatografi
eksklusi ukuran digunakan untuk memisahkan atau menganalisis senyawa dengan
berat molekul >2000 dalton. Pemisahan dengan metode ini tidak terjadi
interaksi kimia antara solut dan fase diam. Molekul solut yang mempunyai berat
molekul yang jauh lebih besar, akan terelusi terlebih dahulu, kemudian akan
dilanjutkan dengan molekul yang memiliki berat medium sampai kecil (Rohman,
2009).
Kromatografi
eksklusi ukuran sering juga disebut filtrasi gel yang dapat digunakan untuk
pemurnian DNA protein. Filtrasi gel merupakan metode yang mudah. Kolom pada
filtrasi gel tidak hanya digunakan untuk menyingkirkan kontaminan dengan berat
molekul yang rendah, seperti garam, tetapi juga untuk buffer exchange sebelum dan sesudah perlakuan kromatografi yang
berbeda.
Pemilihan buffer
pada filtrasi gel tidak akan mempengaruhi resolusi, tetapi konsentrasi garam
(NaCl) yang rendah antara 25-150 mM dapat digunakan untuk mengurangi interaksi
elektrostatik antara protein dengan media gel filtrasi. Pada jurnal digunakan
150 mM NaCl.
Pada kromatografi
afinitas terjadi karena interaksi-interaksi biokimiawi yang sangat spesifik.
Kromatografi ini dapat digunakan untuk mengisolasi protein (enzim) dari
campuran yang sangat kompleks (Rohman, 2009). Dalam kromatografi ini, fase diam
yang akan berikatan dengan protein target. Kemudian protein target akan dielusi
menggunakan ligan kompetitif yang pada akhirnya akan didialisis.
Konsep dari immobilized
affinity chromatography yaitu pada dasarnya transisi ion
logam seperti Zn2+, Cu2+, Ni2+, dan Co2+
terjadi pada asam amino histidin dan sistein dalam solution (Block, et al., 2009). Kombinasi Immobilized Metal Affinity Chromatography
(IMAC) dan spektrometri massa sering digunakan dalam teknik untuk memperkaya
dan sekuensing pada fosfopeptida (Thingholm, 2009).
Pemurnian dengan
teknik kromatografi afinitas disebut juga pemurnian satu tahap. Prinsipnya
adalah adanya pengikatan yang spesifik antara ligan dengan reseptor. Jadi,
dalam kromatografi afinitas, dimungkinkan harus terdapat dua senyawa yang
berikatan secara spesifik. Dalam proses ini juga diperlukan interaksi spesifik
antara protein rekombinan dengan suatu ligan. Kekurangan teknik ini adalah
protein rekombinan yang akan dimurnikan harus berinteraksi secara spesifik
dengan suatu ligan. Namun, kekurangan ini dapat diatasi dengan membuat suatu
protein fusi yang terdiri dari protein yang akan dimurnikan dengan protein yang
dapat berikatan spesifik dengan ligan tertentu (Muhaimin, Liang, Ratnaningsih,
Purwantini, Retnoningrum, 2005).
Dalam transisi
logam, yang sering digunakan adalah logam yang bermuatan positif, dimana sebagai
akseptor elektron. Atom-atom yang bertindak sebagai donor elektron adalah atom
N, S, O. Adapun asam amino yang bersifat sebagai donor elektron yaitu asam
glutamate, asam aspartat, tirosin, sistein, histidin, arginin, lisin, dan
metionin (Gaberc-Porekar,
Menart, 2001).
Metode IMAC, gugus fosfat yang bermuatan negatif akan
berinteraksi dengan ion-ion logam yang bermuatan positif, seperti Fe3+,
Al3+. Interaksi ini memungkinkan terjadinya fosforilasi dari sampel
peptide yang lebih kompleks (Thingholm, 2009).
Keuntungan dari IMAC yaitu teknik ini memiliki affinitas yang
konstan dan pemanfaatan afinitas antara enzim dan kofaktor atau inhibitor,
reseptor dan ligan atau antara antigen antibodi, adalah konstan. Selain itu,
keuntungan dari IMAC juga yaitu terdapat pada stabilitas ligan, loading protein
yang tinggi, kondisi elusi, regenerasi yang sederhana, dan biaya yang murah.
Faktor-faktor inilah yang harus diperhatikan industri ketika menjalankan
prosedur pemurnian dalam skala yang besar (Gaberc-Porekar, Menart, 2001).
III.
Jurnal Pembanding
1.
Pada
jurnal utama (Cohan, et al., 2011) cDNA
alami pada EPO didapat dari metode RT-PCR dan dikloning dalam pTZ57R/T.
Sedangkan pada jurnal Cloning and
Functional of Erythropoietin-, Interleukin-3-, and Thrombopoietin-Inducible
Genes (D’Andrea, Zhu, 1996) menyatakan bahwa beberapa cDNA spesifik dikloning
dari Ba/F3-EPO-R yang secara awal memberikan respon gen secara seketika atau
terlambat dalam memberikan tanggapan terhadap sitokin.
2.
Pada
jurnal, Sugar Profiling Proves that Human
Serum Erythropoietin Differs From Recombinant Human Erythropoietin (Skibeli,
Nissen-Lie, Torjesen, 2001), rhEPO dilabel menggunakan radioisotop sodium
iodide-125.
3.
Oligonukleotida
didesign berdasarkan pada sekuen nukleotida pada mRNA EPO manusia yang didapat
dari National Center for Biotechnology
Information, USA. Oligonukleotida didesign menurut kodon Pichia pastoris. Oligonukleotida yang
mengalami overlap akan digunakan
untuk memproduksi dua gen EPO manusia. Yang pertama EPO manusia dengan 166 asam
amino yang kurang hidrofobik. Gen yang kedua dengan 193 asam amino. 27 asam
amino diantaranya bersifat hidrofobik yang memiliki ikatan peptida (Bustami et al., 2009).
4.
Pada
jurnal PCR assembly of Synthetic Human
Erythropoietin Gene (Bustami, et al.,
2009), terdapat dua enzim, EcoRI dan AvrII, yang diperkenalkan sebagai
sasaran untuk membangun gen EPO manusia dan menurut petunjuk, gen dikloning ke
dalam vektor Pichia pastoris
(pPIC9K).
IV.
Kesimpulan
Hasil dari jurnal dapat disimpulkan bahwa ternyata
menggunakan model molekul dan simulasi MD (Molecular
Dynamic) dalam lokasi yang rasional pada sistein yang spesifik PEGylation merupakan strategi dalam
perkembangan molekul. Ini memungkinkan menggunakan protein rekombinan lain yang
diciptakan dalam bentuk aksi yang panjang. Pengetahuan mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi PEGylation dalam
kombinasi dengan teknik perhitungan dapat membantu memecahkan masalah mengenai
berat molekul antara protein dengan polimer.
Daftar Pustaka
Block, H.,
Maertens, B., Spriestersbach, A., Brinker, N., Kubicek, J., Fabis, R., et al., 2009, Immobilized-Metal Affinity
Chromatography (IMAC): A Review, Elsevier,
463, 440-448.
Bustami, Y.,
Yahya, A., Muhammad, T., Shu-Chien, A., Abdullah, A., Noor, M., et al., 2009, PCR Assembly of Synthetic Human Erythropoietin Gene, Electronic Journal of Biotechnology, 12
(3), 2-4.
Cao, X., Chen,
Z., Yu, Z., Ge, Y., Zeng, X., 2014, Pharmacokinetics of PEGylated Recombinant
Human Erythropoietin in Rats, Journal of Analitical
Methods in Chemistry, 1-4.
Cohan, R. A.,
Madadkar-Sobhani, A., Khanahmad, H., Roohvand, F., Aghasadeghi, M. R.,
Hedayati, M. H., et al., 2011,
Design, Modelling, Expression, and Chemoselective PEGylation of a New Nanosize
Cystein Analog of Erythropoietin, International
Journal of Nanomedicine, 6, 1217-1221.
D’Andrea, A.
D., Zhu, Y., 1996, Cloning and Functional of Erythropoietin-, Interleukin-3-,
and Thrombopoietin-Inducible Genes, Stem
Cells, 14 (1), 82-87.
Emantoko, S.,
2001, Antibodi Rekombinan: Perkembangan Terbaru dalam Teknologi Antibodi, Unitas, 9 (2), 13.
Gaberc-Porekar,
V., Menart, V., 2001, Perspectives of Immobilized-Metal Affinity
Chromatography, J.Biochem.Biophys.Methods,
49, 336-337.
Lu, Y., Harding,
S. E., Turner, A., Smith, B., Athwal, D. S., Grossmann, J. G., et al., 2008, Effect of PEGylation on
the Solution Conformation of Antibody Fragments, Journal of Pharmaceutical Sciences, 97 (6), 2063.
Muhaimin,
Liang, O., Ratnaningsih, E., Purwantini, E., Retnoningrum, D., 2005, Purifikasi
Protein Fusi MBP-Mga Streptococcus
pyogenes Hasil Ekspresi Heterolog di Escherichia
coli, Jurnal Matematika dan Sains,
10 (1), 31.
Nugroho, A.
E., 2012, Farmakologi: Obat-obat Penting
dalam Pembelajaran Ilmu Farmasi dan Dunia Kesehatan, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 195-199.
Park, D., Lim,
R., Kim, H., 2014, Rapid Induction of Mouse Virus-Like (VL30) Element
Transcripts by Erythropoietin in Murine Erythroid Progenittor Cells, Blood, 82 (1), 77-78.
Rohman, A.,
2009, Kromatografi untuk Analisis Obat,
Graha Ilmu, Yogyakarta, 120.
Rustam, Y.,
2010, 6 Faktor Penting dalam Reverse
Transcriptase PCR, Biotechnique, http://sciencebiotech.net/6-faktor-penting-dalam-reverse-transcriptase-pcr/, diakses tanggal 30 Maret 2014.
Santoso, A.,
Rubiyana, Y., Wijaya, S. K., Herawati, N., Wardiana, A., Ningrum, R. A., 2013,
Heterologous Expression and Characterization of Human Erythropoietin in Pichia pastoris, International Journal of Pharma and Bio Sciences, 4 (4), 188.
Sepehrizadeh,
Z., Tabatabaei, M., Zarrini G. H., Hashemi, S., Khoshakhlagh, P., 2008,
Comparison of Real Time RT-PCR and Flow Cytometry Methods For Evaluation of
Biological Activity of Recombinant Human Erythropoietin, DARU, 16 (2), 102.
Skibeli, V.,
Nissen-Lie, G., Torjesen, P., 2001, Sugar Profiling Proves that Human Serum
Erythropoietin Differs From Recombinant Human Erythropoietin, Blood, 98 (13), 3626-3632.
Spivak, J. L.,
1994, Recombinant Human Erythropoietin and the Anemia of Cancer, Blood, 84 (4), 997.
Suhartana,
2007, Kemampuan Ligan Hipoxantin dan Quanin untuk Ekstraksi Kation Perak pada
Fase Air-Kloroform, Jurnal Sains dan
Matematika (JSM), 15 (1), 25-26.
Tajuddin, T.,
2014, Gen Indikator Transformasi Sel
Tanaman, Biotech Center, http://biotek.bppt.go.id/index.php/artikel-sains/135-gen-indikator-transformasi-sel-tanaman, diakses tanggal 30 Maret 2013.
Thingholm, J.
E., Jensen, O. N., 2009, Enrichment and Characterization of Phosphopeptides by
Immobilized Metal Affinity Chromatography (IMAC) and Mass Spectrometry, Methods Mol Biol, 527, 47-56.