Senin, 30 Juli 2018

Terapi eksaserbasi akut PPOK dan cor pulmonale


Take Home Farmakoterapi 2

Disusun Oleh :
Antonia Adeleide Anutopi
17/417690/PFA/01780



Program Magister Farmasi Klinik
Fakultas Farmasi
Universitas Gadjah Mada
2017

1.    Subyek:
Tuan Mukiyo 60 tahun.
Keluhan:
a.    sesak nafas yang memburuk sejak 2 hari yang lalu disertai batuk berdahak yang banyak,
b.    demam
merokok sejak umur 18 tahun, dan masih merokok sesekali.
Obyek:
Sputum purulent dengan sesak nafas yang meningkat.
Diagnosa eksaserbasi akut PPOK, cor pulmonale.
Assesment:
Klasifikasi keparahan grade C


Plan:
a.    Antibiotik yang tepat untuk pasien: Golongan Fluoroquinolon (Ciprofloxacin, Levofloxacin dosis tinggi).
Penjelasannya:

1)    Tanda-tanda pasien mengalami eksaserbasi yaitu dilihat dari gejala yang dialami oleh pasien seperti: batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah dan berubah warna. Pasien didiagnosa eksaserbasi akut. Menurut PDPI tahun 2003, pasien masuk dalam kategori eksaserbasi berat karena memiliki tiga gejala eksaserbasi. Pasien yang mengalami eksaserbasi tingkat sedang-berat sebaiknya dirawat inap, dimana pemberian obatnya maksimal diberikan dengan drip, intravena, dan nebuliser (PDPI, 2003).
2)    Antibiotik yang dapat diberikan ketika dirawat di rumah sakit:
a)    Amoksilin dan klavulanat
b)    Sefalosporin generasi II dan III injeksi
c)    Kuinolon per oral
Ditambah dengan yang anti pseudomonas:
a)    Aminoglikose per injeksi
b)    Kuinolon per injeksi
c)    Sefalosporin generasi IV per injeksi
(PDPI, 2003).
3)    Pasien masuk dalam kategori eksaserbasi grade C dimana pasien memiliki faktor risiko terinfeksi P. aeruginosa, memiliki penyakit komorbid.

Levofloxacin dosis tinggi = dosis 750mg efektif pada P.aeruginosa (GOLD, 2006).

4)    Penggunaan makrolida dapat ditujukan pada pasien rawat jalan (PDPI, 2003).
5)    Golongan makrolida saat digunakan pada pasien PPOK dapat mengurangi eksaserbasi. Penggunaan antibiotik dapat memperpendek recovery time, menurunkan risiko terjadinya relaps, meminimalkan durasi opname. Durasi terapi 5-7 hari (evidence B). Penggunaan jangka panjang azithromycin dan erythromycin dapat menurunkan eksaserbasi lebih dari satu tahun (evidence A) (GOLD, 2017).


Alasan Penggunaan antibiotik golongan fluoroquinolon:
1)    Pada pengujian Randomised double-blind, multicentre (n=491) antara penggunaan ciprofloxacin 500mg sekali per hari (selama 14 hari) dengan clarithromycin 500mg dua kali sehari (selama 14 hari), efek eradikasi bakteri lebih tinggi pada ciprofloxacin (Wilson, Sethi, Anzueto, and Miravitlles, 2013).

2)    Pada pengujian Randomised double-blind, multicentre (n=511) antara penggunaan levofloxacin 500mg sekali per hari (selama 7 hari) dengan clarithromycin 250mg dua kali sehari (selama 10 hari), penurunan eksaserbasi kedua grup adalah sama namun efek eradikasi bakteri lebih tinggi pada levofloxacin (Wilson, et al, 2013).

b.    Terapi untuk Cor Pulmonale:
1)    Cor pulmonale merupakan bentuk perpanjangan penyakit akibat hipertensi pulmonari yang menyebabkan perubahan pada struktur atau fungsi dari ventrikel kanan. Terapi oksigen jangka panjang dapat menurunkan angka kejadian hipoksemia pada pasien dengan COPD (Bhattacharya, 2004).
2)    Penggunaan terapi oksigen jangka panjang merupakan pengobatan terbaik untuk hipertensi pulmonari (Weitzenblum, 2003).
3)    Diuretik dapat mengembalikan fungsi ventrikel kiri dan kanan pada pasien dengan significant volume overload of the right ventricle (Bhattacharya, 2004). Diuretik yang sering digunakan adalah furosemide (Weitzenblum, 2003). Pada beberapa pasien dengan CHF berat penggunaan furosemide oral (40-160mg/hari) dapat menurunkan gejala CHF. Namun pada penggunaan dosis >80mg harus dimonitoring fungsi renal dan kadar elektrolit dalam tubuh (Davies, Gibbs, Lip, 2000).
4)    Agen vasodilator seperti diltiazem (120-720mg/hari PO sustained release) dan nifedipin (30-240mg/hari PO sustained release) dapat menurunkan tekanan arteri pulmonari (Bhattacharya, 2004).
Perbedaan Terapi pada gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri:

1)    Gagal jantung kiri terapinya antara lain:
a)    Digoksin

b)    ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40% (PERKI, 2015).

c)    Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan di rumah sakit akibat perburukan gagal jantung (PERKI, 2015).

d)    ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40%. ARB direkomendasikan jika pasien intoleran dengan golongan ACEI (PERKI, 2015).

e)    Hidralazin dan ISDN

f)     Diuretik dapat mengembalikan fungsi ventrikel kiri dan kanan pada pasien dengan significant volume overload of the right ventricle (Bhattacharya, 2004).


2)    Gagal jantung kanan terjadi saat resistensi aliran darah dari jantung kanan menuju paru atau saat katup trikupsid (yang memisahkan atrium kanan dan ventrikel kanan) tidak berfungsi dengan baik. Gejala utama adalah edema dan nokturia. Terapinya adalah:
a)    Diuretik dapat mengembalikan fungsi ventrikel kiri dan kanan pada pasien dengan significant volume overload of the right ventricle (Bhattacharya, 2004).


c.    Mengapa ICS tunggal tidak disarankan untuk pasien PPOK?
1)    ICS memiliki efek samping yang potensial yang dapat meningkatkan prevalensi oral and laryngeal candidiasis, perubahan pada suara, dan pneumonia. Efek ini akan lebih parah jika diberikan dalam dosis yang rendah (Moitra, 2017).
2)    Kombinasi ICS dan LABA telah terbukti lebih efektif pada pasien dengan tingkat keparahan PPOK sedang sampai sangat berat dibandingkan jika pemebriannya tunggal (Moitra, 2017). Pada penelitian RCT kombinasi ICS dann LABA lebih efektif dalam mengurangi eksaserbasi COPD daripada ICS atau LABA monoterapi (Cyr, Beauchesne, Lemiere, Aaron, and Blais, 2010).
3)    Kombinasi terapi ICS dan LABA dapat memperbaiki fungsi paru, status kesehatan, dan eksaserbasi (Moitra, 2017).

Saran Pemilihan Terapi: ICS kombinasi LABA.

Daftar Pustaka
Bhattacharya, A., 2004, Cor Pulmonale, JIACM, 5, 2, 128, 134, 135-136.
Cyr, M., Beauchesne, M., Lemiere, C., Aaron, S.D., and Blais, L., 2010, Effects of Inhaled Corticosteroids in Monotherapy or Combined with Long-Acting β2-Agonist on Mortality Among Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease, The Annals of Pharmacotherapy, 44, 614.
Davies, M.K., Gibbs, C.R., and Lip, G.Y.H., 2000, ABC of Heart Failure: Management Diuretics, ACE Inhibitors, and Nitrates, BMJ, 320, 428.
ESC, 2016, 2016 ESC Guidelines for The Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure, European Heart Journal, 37, 2135, 2147, 2151.
GOLD, 2006, Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, MCR Vision Inc, pp. 66, 67.
GOLD, 2017, Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, and Prevention: A Guide for Health Care Professionals, Gold Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Inc, pp. 14, 15, 19, 20, 37.
Moitra, S., 2017, Corticosteroid Administration in COPD: Summary of The Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) Guidelines 2017, Lung Dis Treat, 3, 2, 1.
PDPI, 2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, pp. 9, 11, 20, 22, 23.
PERKI, 2015, Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung, Edisi 1, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, p. 16, 17, 20, 21, 22, 23, 24, 25.
Weitzenblum, E., 2003, General Cardiology Chronic Cor Pulmonale, Heart, 89, 229, 230.
Wilson, R., Sethi, S., Anzueto, A., Miravitles, M., 2013, Antibiotics for Treatment and Prevention of Exacerbations of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Journal of Infection, 67, 500.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar