Take
Home Farmakoterapi 2
Disusun
Oleh :
Antonia Adeleide Anutopi
17/417690/PFA/01780
Program
Magister Farmasi Klinik
Fakultas
Farmasi
Universitas
Gadjah Mada
2017
1. Subyek:
Tuan
Mukiyo 60 tahun.
Keluhan:
a.
sesak
nafas yang memburuk sejak 2 hari yang lalu disertai batuk berdahak yang banyak,
b.
demam
merokok
sejak umur 18 tahun, dan masih merokok sesekali.
Obyek:
Sputum purulent dengan
sesak nafas yang meningkat.
Diagnosa eksaserbasi akut
PPOK, cor pulmonale.
Assesment:
Klasifikasi keparahan
grade C
Plan:
a. Antibiotik
yang tepat untuk pasien: Golongan Fluoroquinolon (Ciprofloxacin, Levofloxacin
dosis tinggi).
Penjelasannya:
1)
Tanda-tanda
pasien mengalami eksaserbasi yaitu dilihat dari gejala yang dialami oleh pasien
seperti: batuk atau sesak bertambah, sputum bertambah dan berubah warna. Pasien
didiagnosa eksaserbasi akut. Menurut PDPI tahun 2003, pasien masuk dalam
kategori eksaserbasi berat karena memiliki tiga gejala eksaserbasi. Pasien yang
mengalami eksaserbasi tingkat sedang-berat sebaiknya dirawat inap, dimana
pemberian obatnya maksimal diberikan dengan drip, intravena, dan nebuliser (PDPI,
2003).
2)
Antibiotik
yang dapat diberikan ketika dirawat di rumah sakit:
a)
Amoksilin
dan klavulanat
b)
Sefalosporin
generasi II dan III injeksi
c)
Kuinolon
per oral
Ditambah
dengan yang anti pseudomonas:
a)
Aminoglikose
per injeksi
b)
Kuinolon
per injeksi
c)
Sefalosporin
generasi IV per injeksi
(PDPI, 2003).
3)
Pasien
masuk dalam kategori eksaserbasi grade C dimana pasien memiliki faktor risiko
terinfeksi P. aeruginosa, memiliki
penyakit komorbid.
Levofloxacin
dosis tinggi = dosis 750mg efektif pada P.aeruginosa
(GOLD, 2006).
4)
Penggunaan
makrolida dapat ditujukan pada pasien rawat jalan (PDPI, 2003).
5)
Golongan
makrolida saat digunakan pada pasien PPOK dapat mengurangi eksaserbasi.
Penggunaan antibiotik dapat memperpendek recovery
time, menurunkan risiko terjadinya relaps, meminimalkan durasi opname.
Durasi terapi 5-7 hari (evidence B).
Penggunaan jangka panjang azithromycin dan erythromycin dapat menurunkan
eksaserbasi lebih dari satu tahun (evidence
A) (GOLD, 2017).
Alasan
Penggunaan antibiotik golongan fluoroquinolon:
1)
Pada
pengujian Randomised double-blind,
multicentre (n=491) antara penggunaan ciprofloxacin 500mg sekali per hari
(selama 14 hari) dengan clarithromycin 500mg dua kali sehari (selama 14 hari),
efek eradikasi bakteri lebih tinggi pada ciprofloxacin (Wilson, Sethi, Anzueto,
and Miravitlles, 2013).
2)
Pada
pengujian Randomised double-blind,
multicentre (n=511) antara penggunaan levofloxacin 500mg sekali per hari
(selama 7 hari) dengan clarithromycin 250mg dua kali sehari (selama 10 hari),
penurunan eksaserbasi kedua grup adalah sama namun efek eradikasi bakteri lebih
tinggi pada levofloxacin (Wilson, et al,
2013).
b. Terapi
untuk Cor Pulmonale:
1)
Cor
pulmonale merupakan bentuk perpanjangan penyakit akibat hipertensi pulmonari
yang menyebabkan perubahan pada struktur atau fungsi dari ventrikel kanan.
Terapi oksigen jangka panjang dapat menurunkan angka kejadian hipoksemia pada
pasien dengan COPD (Bhattacharya, 2004).
2)
Penggunaan
terapi oksigen jangka panjang merupakan pengobatan terbaik untuk hipertensi
pulmonari (Weitzenblum, 2003).
3)
Diuretik
dapat mengembalikan fungsi ventrikel kiri dan kanan pada pasien dengan significant volume overload of the right
ventricle (Bhattacharya, 2004). Diuretik yang sering digunakan adalah
furosemide (Weitzenblum, 2003). Pada beberapa pasien dengan CHF berat
penggunaan furosemide oral (40-160mg/hari) dapat menurunkan gejala CHF. Namun
pada penggunaan dosis >80mg harus dimonitoring fungsi renal dan kadar
elektrolit dalam tubuh (Davies, Gibbs, Lip, 2000).
4)
Agen
vasodilator seperti diltiazem (120-720mg/hari PO sustained release) dan nifedipin (30-240mg/hari PO sustained release) dapat menurunkan tekanan arteri pulmonari (Bhattacharya, 2004).
Perbedaan Terapi pada gagal jantung
kanan dan gagal jantung kiri:
1)
Gagal
jantung kiri terapinya antara lain:
a)
Digoksin
b)
ACEI
harus diberikan pada semua pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri ≤40% (PERKI, 2015).
c)
Penyekat
β memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan di
rumah sakit akibat perburukan gagal jantung (PERKI, 2015).
d)
ARB
direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤40%. ARB direkomendasikan jika pasien intoleran dengan golongan ACEI (PERKI,
2015).
e)
Hidralazin
dan ISDN
f)
Diuretik
dapat mengembalikan fungsi ventrikel kiri dan kanan pada pasien dengan significant volume overload of the right
ventricle (Bhattacharya, 2004).
2)
Gagal
jantung kanan terjadi saat resistensi aliran darah dari jantung kanan menuju
paru atau saat katup trikupsid (yang memisahkan atrium kanan dan ventrikel
kanan) tidak berfungsi dengan baik. Gejala utama adalah edema dan nokturia.
Terapinya adalah:
a)
Diuretik
dapat mengembalikan fungsi ventrikel kiri dan kanan pada pasien dengan significant volume overload of the right
ventricle (Bhattacharya, 2004).
c. Mengapa
ICS tunggal tidak disarankan untuk pasien PPOK?
1)
ICS
memiliki efek samping yang potensial yang dapat meningkatkan prevalensi oral and laryngeal candidiasis,
perubahan pada suara, dan pneumonia. Efek ini akan lebih parah jika diberikan
dalam dosis yang rendah (Moitra, 2017).
2)
Kombinasi
ICS dan LABA telah terbukti lebih efektif pada pasien dengan tingkat keparahan
PPOK sedang sampai sangat berat dibandingkan jika pemebriannya tunggal (Moitra,
2017). Pada penelitian RCT kombinasi ICS dann LABA lebih efektif dalam
mengurangi eksaserbasi COPD daripada ICS atau LABA monoterapi (Cyr, Beauchesne,
Lemiere, Aaron, and Blais, 2010).
3)
Kombinasi
terapi ICS dan LABA dapat memperbaiki fungsi paru, status kesehatan, dan
eksaserbasi (Moitra, 2017).
Saran Pemilihan Terapi: ICS kombinasi
LABA.
Daftar
Pustaka
Bhattacharya,
A., 2004, Cor Pulmonale, JIACM, 5, 2,
128, 134, 135-136.
Cyr,
M., Beauchesne, M., Lemiere, C., Aaron, S.D., and Blais, L., 2010, Effects of
Inhaled Corticosteroids in Monotherapy or Combined with Long-Acting β2-Agonist
on Mortality Among Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease, The Annals of Pharmacotherapy, 44, 614.
Davies,
M.K., Gibbs, C.R., and Lip, G.Y.H., 2000, ABC of Heart Failure: Management
Diuretics, ACE Inhibitors, and Nitrates, BMJ,
320, 428.
ESC,
2016, 2016 ESC Guidelines for The Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic
Heart Failure, European Heart Journal,
37, 2135, 2147, 2151.
GOLD,
2006, Global Strategy for The Diagnosis,
Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, MCR
Vision Inc, pp. 66, 67.
GOLD,
2017, Pocket Guide to COPD Diagnosis,
Management, and Prevention: A Guide for Health Care Professionals, Gold
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease Inc, pp. 14, 15, 19, 20, 37.
Moitra,
S., 2017, Corticosteroid Administration in COPD: Summary of The Global
Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) Guidelines 2017, Lung Dis Treat, 3, 2, 1.
PDPI,
2003, Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK): Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan di Indonesia, pp. 9, 11, 20,
22, 23.
PERKI,
2015, Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung,
Edisi 1, Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia, p. 16, 17, 20,
21, 22, 23, 24, 25.
Weitzenblum,
E., 2003, General Cardiology Chronic Cor Pulmonale, Heart, 89, 229, 230.
Wilson,
R., Sethi, S., Anzueto, A., Miravitles, M., 2013, Antibiotics for Treatment and
Prevention of Exacerbations of Chronic Obstructive Pulmonary Disease, Journal of Infection, 67, 500.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar