Sabtu, 19 April 2014

prolog Inferno

Akulah sang Arwah.
Melintasi kota muram, aku pergi.
Melintasi kedukaan abadi, aku berlari.

 Di sepanjang bantaran Sungai Arno, aku terpontang-panting, tersengal-sengal ... berbelok ke kiri ke Via dei Castellani, mencari jalan ke utara, merunduk dalam bayang-bayang Galeri Uffizi.

Namun, mereka masih mengejarku.

Langkah kaki mereka terdengar semakin keras ketika mereka memburu dengan tekad membara.

Bertahun-tahun mereka telah mengejarku. Kegigihan mereka membuatku terus berada di bawah tanah ... memaksaku hidup dalam penebusan ... bekerja di bawah tanah bagai monster perut bumi.

Akulah sang Arwah.

Disini, di atas permukaan tanah, kulayangkan pandang ke utara, tapi tidak bisa menemukan jalan langsung menuju keselamatan ... karena Pegunungan Apennine menghalangi cahaya fajar.

Aku lewat di belakang palazzo dengan menara yang puncaknya dilengkapi celah untuk pemanah dan jam berjarum-tunggal ... meliuk-liuk melewati para penjaja di awal pagi di Piazza di San Firenze. Suara mereka yang serak beraroma lampredotto dan zaitun panggang. Aku menyeberang di depan Museum Bargello, memotong ke barat menuju menara Gereja Badia, dan langsung berhadapan dengan gerbang besi di dasar tangga.

Disini, segala keraguan harus ditanggalkan.

Aku membuka gerbang dan melangkah memasuki jalur yang aku tahu, tak punya jalan kembali. Kupaksakan kaki beratku menaiki tangga sempit ... mendaki dalam gerak spiral di atas anak-anak tangga pualam halus yang lapuk dan berlubang-lubang.

Suara-suara menggema dari bawah. Memohon.

Mereka berada di belakangku, pantang menyerah, mendekat.

Mereka tidak memahami apa yang akan terjadi ... juga apa yang telah ku lakukan untuk mereka!

Dunia yang tidak tahu berterima kasih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar